Tuesday, April 10, 2007

Mengenal Budaya Jepang (1)

Masih lekat dalam ingatan, ketika pertama kali mendarat di Jepang, dan aku keheranan, `kenapa orang Jepang model rambutnya sama semua. Lurus, dan dicat pirang`.
Baru di kemudian hari, aku mengerti bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang homogen. Homogen dalam cara berpikir, bersosialisasi, mungkin termasuk model rambut itu tadi. Pokoknya ga boleh kelihatan berbeda lah. Kehomogenan itu tadi dapat dilihat dari hal-hal kecil yang banyak aturannya. Dari cara mereka memberikan greetings, cara bertukar kartunama, bahkan dalam mengirim email resmi pun, ada kata-kata yang seakan-akan harus digunakan. Jadi kalau kirim email ya cuma begitu-begitu saja. Dalam hal berpikir juga seperti itu, seakan-akan punya pendapat yang berbeda itu tabu. Mungkin nilai-nilai ini sudah mulai bergeser, namun tetap saja masih bisa dirasakan.
Berkaitan dengan `pokoknya ga boleh beda itu tadi`, ada fakta yang cukup menarik. Taukah teman-teman, kalau kasus `ngerjain temen` atau bullying, atau dalam bahasa jepang disebut ijime, adalah kasus yang sangat serius dalam pendidikan Jepang? Sangat serius karena mengerjainya sudah pada level cukup parah, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Nah, kemudian orang seperti apakah yang suka dikerjain? Ternyata menurut survey tidak resmi yang saya tanyakan pada teman-teman saya orang Jepang, yang suka dikerjain adalah orang-orang yang kelihatan berbeda. Beda dalam hal apa? Wah ini bisa macam-macam. Tapi yang masih sangat saya ingat adalah cerita dari teman host-sister saya. Teman adek saya itu keturunan Jepang-India, dan dari segi penampilan jauh berbeda dari orang Jepang kebanyakan. Tinggi, dan mukanya khas India sekali. Menurut penuturan dia, dari kelas 1 SD sampai SMP kelas 3 dia selalu jadi sasaran dikerjain temen. Tidak terbatas pada kasus teman adek saya, bentuk `ijime` itu macem2, dari dibilang `bodoh..bodoh!`, atau `kita ga ngerti deh kamu ngomong apa?`, sampai `mati aja deh!`. Dari sekedar kata-kata sampai, dikunci bareng2 dalam gudang atau kamar mandi. Dan anehnya lagi, guru atau teman-teman lain ga ada yang membela, dengan dalih ga ada artinya. Setiap mendengarkan cerita ijime, aku rasanya geram sekali. Anehnya lagi, yang dikerjain tuh mengaku `saya tidak apa-apa. Saya menikmatinya.`. Yang benar saja? Mungkin saya juga harus memahami cara berpikir bahwa dikerjain itu mengasyikkan.
Kembali ke masalah homogenitas tadi, dari cerita ijime itu, sedikit banyak dapat disimpulkan kehomogenan itu sudah mulai terbentuk sejak mereka kecil. Dari SD sampai SMP (kadar menurun ketika SMA), mereka dilatih untuk JANGAN SAMPAI BERBEDA.
Kehomogenan, atau cara pikir homogen juga saya rasakan di tempat perusahaan saya bekerja. Ada kecenderungan ide, usul, pendapat mereka sangat tidak berbeda, alias sama, alias begitu-begitu saja. Dan satu lagi yang menurut saya sangat sangat menghambat perkembangan diri seseorang, kehomogenan itu membuat orang Jepang `takut salah`, dan akibatnya `takut melangkah`, dan `tidak berani mengambil resiko. Jujur saja, ini sempat saya rasakan ketika pertama kali masuk. Berhubung orang baru, dan belum tau banyak, jadi serba takut untuk mencoba karena takut salah. Bukan aku banget kan . Begitu sadar, hehe...... saya tidak peduli, ga takut salah deh. Kalau saya salah, tolong ingatkan. Dengan begitu, saya merasa lebih cepat belajar, dan berkembang.

InsyaAllah bersambung

5 comments:

Rian Indriani said...

umm,,, nice written,,,

I'll be waitin' 4 da 2nd part

semangaaaaaaaaaaaaad

Megarini Puspasari said...

hehe...wah kapan ya the 2nd part-nya,...

Rian Indriani said...

I'll be waitin'...
semangad!

Anonymous said...

日本文化は、複雑でしょうね
よく書きましたね
おつかれさまでした

LPSTkalsel said...

makasih informasinya...
jepang mank keren...

arigatou gozaimasu

 
Lilypie Maternity tickers