Monday, April 30, 2007

Cultural Identity Lost

Sebetulnya bukan bidangku untuk bicara masalah ini. Namun beberapa pengalaman, dan kejadian akhir-akhir ini membuatku ingin bicara juga.:)
Apalagi setelah kasus penembakan di Virginia College oleh seorang keturunan Korea, yang oleh koran2 disebut sebagai 1.5 Korean generation. Apa toh maksudnya??? Kemudian jadi teringat tentang, cultural identity lost yang akhir2 ini memenuhi kepalaku akibat memikirkan murid2 TPA kobe, kurikulum seperti apakah yang bisa mmbuat mreka tumbuh dengan identitas Muslim yang tangguh di tengah deru globalisasi Jepang????
Anyway, dari artikel dan buku yang kubaca, cultural identity seseorang itu tersusun dari 3 faktor, yaitu faktor budaya, bahasa (linguistik), dan psikologi (yang juga termasuk faktor religi).
Sebelumnya, let me tell you a story about my college friend. Katakanlah aku punya seorang teman yang berasal dari negara Asia M, trus ketika umur 3 tahun dia pindah ke negara Eropa C, tumbuh dsana, mengenyam pendidikan dasar sampai SMA dsana, hingga akhirnya dia mendapat beasiswa pemerintah Jepang dengan status sebagai warga negara Eropa C. Tentu saja di Jepang pun dia lebih dikenal sebaga WN Eropa C, lebih-lebih dia ga bisa bahasa negara Asia M.
Muka sih perfectly Asian, tapi aku ga yakin dia mengerti nilai-nilai budaya timur. Setidaknya itu pengamatanku dari gaya pacaran dia ;D. Dia gadis yang sangat pintar, mahasiswa A+ deh. Setelah mendengar cerita masa kecilnya, barulah aku mengerti mengapa dia tumbuh jadi gadis pintar dan hard worker. Alkisah, sebagai imigran dari negara Asia ke negara Eropa dia mendapatkan diskriminasi waktu kecil. Ortunya menanamkannya padanya, `Jadilah anak yang pintar, and nobody will look down on you`. Dia bilang, `dengan kondisi biasa aja, aku dah didiskriminasi, coba kalo bodo, tambah2 aku direndahkan ama orang lain`. nah kondisi seperti itulah yang membuatnya jadi seorang hard worker, dan tentu saja pinter, plus cantik, dengan prestasi seabrek. Ck..ck..
Tapi suatu hari ketika dia datang padaku, dan kebingungan, `which country i belong to?`, aku juga bingung mo ngomong apa. Jujur saja, dia lebih mengenal negara Eropa, walopun dia bilang betapa sakit hatinya ia dengan pengalaman diskriminasi masa kecilnya. Sebagai seorang Asian, dia ga bisa bicara bahasa Asia tersebut, gmana dong. Akhirnya temenku itu memutuskan identitas dia sebagai orang Asia, dan memutuskan bekerja di Asia. Aku ya cuma bisa `say Good Luck`... dan bertanya-tanya waaah... cultural identity lost bisa menjadi masalah serius juga.
Nah teringat kasus Virginia College, apakah si gunman juga mendapat diskriminasi di masa kecilnya?? apakah smua itu luapan sakit hatinya? atau akibat pertumbuhan identitas dirinya yang tidak sempurna?? Jadi inget, banyak ya... diskriminasi yang berawal dari `keliatan berbeda`, dan tentu saja perbedaan fisik adalah sesuatu yang sangat jelas. Coba liat saja Jepang dengan ijime-nya. Oh ya, aku aja pernah diece-ece kriting waktu SMA...hehe..:p.
Btw, kemudian tibalah aku memikirkan adek2 di TPA kobe. Sebagai seorang `half` dan muslim, apakah mereka juga mendapat diskriminasi dari teman2nya. Ah, aku takut jawabannya `iya..`. Kemudian identitas mereka sebagai seorang muslim, dengan cara bagaimana kita bisa menanamkan tauhid pada diri mereka? Sekeras apapun kita berusaha, kalau ortu ga membiasakan di rumah rasa2nya hampir ga ada gunanya.
Dari hal yang paling dasar saja, keyakinan penuh bahwa kita punya TUHAN, bahwa Dia-lah tempat kita memohon segalanya, yang Maha Kaya itu sangat perlu untuk ditanamkan. Contoh kecilnya saja, orang Jepang tuh kan kalo nemu uang di jalan, ga bakal trus diambil untuk dirinya sendiri. Ketika ditanya, `knapa ga kau ambil?`. Jawabannya jelas, `takut polisi`. Nah gimana cara mengubah jawaban `takut polisi` itu menjadi `takut Allah`, atau `Islam mengajarkan kita seperti itu`.
Sebuah PR minggu ini yang akan Mega jawab bersama mbak Helfi!!!! Yooo..mbak, berjuang!!! Untuk temen2 yang punya info pendidikan Islam, minta bantuannya. Diriku ini...sebenarnya sangat2 ga PD untuk pegang TPA, tapi gimanalah lagi ...mungkin ini cara Allah mendidikku...hehe. Sangat harus disyukuri.
Oh ya, dan tentu saja beragama itu perlu ilmu kan... . Selama ini mega dan mbak Helfi pegang kelas kecil, umur 3-10 tahunlah. Nah baru akhir2 ini mikir, anak2 putri kelas gede kayaknya udah pada masuk usia baligh deh. Gmana kita mengajarkan mandi wajib dan segalanya, waaaaaaaaaah...jadi kerasa banyak PR. Kan kelas gede yang pegang brother, kayaknya lebih pantas kalo yang ngajarin sister2 deh.hehe

Berjuang!!! dan semangat!


mega
-alotofideascameoutofmyhead-

3 comments:

Rian Indriani said...

ohayou,,,,
mbak, aya maw tanya... komunitas hoshi zora tuh (yang di yogya) ada nerima2 anggota luar ga'? aya pengen ikut2 yang kaya' gitu hehehe...

Megarini Puspasari said...

ohayoooo :)
oh terima sekali, dan kebetulan kt lg cari orang, karena banyak pengurus lama yg dah lulus dan hrs meninggalkan djogdja.
Beneran Aya mo ikut?? we are more than welcome. Oh ya email Aya apa ya, bisa kirim ke emailku? Nanti aku segera bilang pengurus djogdja. Seru dan rame anak2nya loh.

Rian Indriani said...

me_chikochi@yahoo.fr
tapi gabungnya mungkin ga sekarang soalnya lagi nyusun TA
hehehe
arigatouuu

 
Lilypie Maternity tickers